Advertisement

Responsive Advertisement

THEOLOGI RELASI: MENJAWAB KRISIS KEINTIMAN DI ERA GHOSTING DAN HUBUNGAN TANPA KOMITMEN


Dalam era digital yang serba cepat dan individualistis, dinamika relasi manusia mengalami pergeseran yang signifikan. Fenomena seperti ghosting (menghilang secara tiba-tiba dalam hubungan tanpa penjelasan) dan hubungan tanpa komitmen menjadi semakin lazim, khususnya di kalangan generasi muda. Krisis keintiman ini bukan hanya permasalahan sosial atau psikologis semata, namun juga menyentuh aspek spiritual dan teologis yang mendalam. Teologi relasi hadir sebagai respons iman Kristen terhadap kondisi ini, menawarkan pemahaman relasi yang berakar pada kasih, kesetiaan, dan keberadaan Allah sebagai relational Being.

Dalam teologi Kristen, relasi merupakan inti dari eksistensi manusia. Allah sendiri adalah Pribadi yang hidup dalam relasi sempurna: Bapa, Anak, dan Roh Kudus dalam persekutuan Trinitas. Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Imago Dei), artinya manusia memiliki kapasitas untuk berelasi dengan Allah dan sesama dalam cinta yang saling memberi dan menerima. Ketika relasi dipermudah oleh teknologi namun kehilangan esensi keintiman dan komitmen, maka yang terjadi adalah dehumanisasi relasi itu sendiri.

Fenomena ghosting mencerminkan hilangnya tanggung jawab emosional dalam relasi. Dalam terang Injil, relasi bukan sekadar interaksi sesaat yang bisa ditinggalkan, melainkan sebuah panggilan untuk mencerminkan kasih Kristus yang setia, hadir, dan mengasihi tanpa syarat. Dalam Yohanes 15:13, Yesus berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Kasih dalam relasi Kristen bukanlah kasih yang berorientasi pada kepuasan pribadi, melainkan kasih yang rela berkorban.

Selain itu, relasi tanpa komitmen mencerminkan budaya ketakutan terhadap kedekatan dan tanggung jawab. Teologi relasi mengajarkan bahwa kasih sejati membutuhkan keberanian untuk hadir secara utuh dan bertumbuh bersama dalam ikatan yang saling membangun. Komitmen bukanlah beban, melainkan ekspresi dari kedewasaan rohani dan emosional yang meniru karakter Allah sendiri yang setia kepada umat-Nya bahkan ketika umat itu tidak setia.

Dalam konteks ini, gereja dipanggil untuk menjadi ruang pendidikan relasi yang sehat. Pengajaran Alkitab, konseling pastoral, dan komunitas kecil dapat menjadi sarana untuk menumbuhkan budaya relasi yang berpusat pada Kristus. Gereja juga harus peka terhadap pergumulan emosional generasi muda dan menyediakan ruang aman untuk mereka belajar mencintai dan dikasihi secara sehat.

Lebih jauh, teologi relasi menantang narasi-narasi budaya pop yang mengagungkan hubungan instan, cinta yang egois, dan keintiman tanpa komitmen. Narasi Injil justru menunjukkan bahwa relasi yang otentik tumbuh dari proses saling mengenal, saling mengampuni, dan berjalan bersama dalam kasih karunia. Itulah yang terjadi dalam hubungan Allah dengan manusia, dan itulah pula yang menjadi teladan bagi relasi antar manusia.

Sebagai bentuk praksis teologis, penting bagi orang percaya untuk membangun spiritual discipline dalam relasi, seperti kejujuran, kesabaran, kesetiaan, dan pengampunan. Relasi bukanlah proyek instan, melainkan taman yang perlu dirawat dengan doa, refleksi diri, dan komunikasi yang jujur.

Teologi relasi juga membuka ruang refleksi atas luka relasional akibat ghosting dan hubungan toksik. Kasih Allah menjadi pemulih luka batin dan sumber kekuatan untuk memulai kembali. Dalam Mazmur 34:18 dikatakan, “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” Ini menjadi penghiburan bagi mereka yang dikecewakan dalam relasi.

Akhirnya, krisis keintiman di era digital adalah panggilan bagi gereja untuk menghidupi Injil secara relevan. Teologi relasi bukan hanya doktrin, tetapi gaya hidup yang mencerminkan kasih Kristus dalam setiap hubungan manusia. Dalam dunia yang terus berubah, kasih Allah tetap menjadi jangkar yang kokoh bagi setiap relasi yang mau dibangun atas dasar kasih, komitmen, dan pengampunan.

Posting Komentar

0 Komentar