Advertisement

Responsive Advertisement

LARANGAN ORANG KRISTEN MENYEBUT SAUDARA MU KAFIR


Larangan bagi orang Kristen menyebut sesama manusia sebagai "kafir" memiliki dasar teologis yang kuat dalam Alkitab, khususnya dalam pengajaran Yesus Kristus dan prinsip kasih yang menjadi inti iman Kristen. Berikut adalah penjelasan yang lebih mendalam:


1. Larangan Menghakimi Sesama

Yesus secara eksplisit melarang penghakiman terhadap sesama manusia dalam Khotbah di Bukit:

"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi." (Matius 7:1)

Ketika seseorang menyebut orang lain sebagai "kafir" dalam konteks penghinaan atau penilaian sepihak, itu mencerminkan sikap menghakimi. Padahal, penghakiman adalah hak Tuhan semata, bukan manusia. Dalam Alkitab, Tuhan menilai hati manusia, sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh manusia lain:

"Sebab Tuhan tidak melihat seperti manusia melihat; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati." (1 Samuel 16:7)

Menghakimi sesama, termasuk dengan menyebut "kafir," melanggar prinsip ini.


2. Kasih kepada Sesama sebagai Perintah Utama

Yesus memberikan perintah utama kepada murid-murid-Nya untuk mengasihi sesama manusia tanpa diskriminasi:

"Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Matius 22:39)

Perintah ini tidak terbatas pada orang-orang seiman saja. Yesus bahkan mengajarkan untuk mengasihi musuh:

"Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Matius 5:44)

Menyebut orang lain "kafir" dengan niat menghina bertentangan dengan semangat kasih ini. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk melihat setiap individu sebagai ciptaan Allah yang berharga dan memperlakukan mereka dengan kasih dan hormat.


3. Makna “Kafir” dalam Perspektif Alkitab

Kata "kafir" sering kali digunakan secara sembarangan dan salah dipahami. Dalam konteks Alkitab, "kafir" (Yunani: ethnos atau paganos) merujuk pada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Namun, Perjanjian Baru membawa paradigma baru, di mana Injil ditujukan kepada semua bangsa, baik Yahudi maupun bukan Yahudi (kafir dalam konteks bangsa).

Paulus dalam surat-suratnya menekankan bahwa keselamatan melalui Kristus terbuka untuk semua orang, tanpa memandang latar belakang agama atau etnis:

"Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya." (Roma 10:12)

Menyebut seseorang sebagai "kafir" secara negatif menunjukkan bahwa orang tersebut dianggap di luar kasih dan rencana Allah, padahal Alkitab menegaskan bahwa kasih Allah meliputi seluruh dunia (Yohanes 3:16).


4. Penggunaan Kata yang Menimbulkan Perpecahan

Menyebut seseorang "kafir" dapat menimbulkan luka dan perpecahan. Rasul Yakobus memperingatkan tentang bahaya lidah yang tidak terkontrol:

"Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah." (Yakobus 3:9)

Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk menggunakan perkataan yang membangun, bukan yang merendahkan atau menghina. Menyebut seseorang "kafir" dengan nada merendahkan bertentangan dengan panggilan untuk menjadi pembawa damai:

"Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah." (Matius 5:9)


5. Peran Penginjilan: Menyampaikan Kabar Baik, Bukan Menghakimi

Tugas utama orang Kristen adalah membawa Kabar Baik (Injil), bukan melabeli atau menghakimi orang lain. Menyebut orang lain "kafir" dapat menutup pintu dialog dan menyebabkan orang merasa dijauhi, bukannya didekati dengan kasih Allah.

Paulus menasihati untuk bersikap bijaksana dan penuh kasih dalam menghadapi orang-orang yang belum percaya:

"Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang." (Kolose 4:6)

Orang Kristen dipanggil untuk membawa kesaksian tentang kasih Allah dengan rendah hati, bukan dengan sikap yang menghakimi.


6. Teladan Yesus dalam Mengasihi Semua Orang

Yesus sendiri memberi contoh bagaimana Dia memperlakukan semua orang, termasuk mereka yang dianggap berdosa atau jauh dari Tuhan, dengan kasih dan penerimaan. Salah satu contoh yang menonjol adalah interaksi-Nya dengan perempuan Samaria di sumur (Yohanes 4:1-26). Meski perempuan itu berasal dari komunitas yang dianggap "kafir" oleh orang Yahudi, Yesus tidak menghakimi atau merendahkan, melainkan berbicara dengan kasih dan menawarkan kehidupan kekal.


Kesimpulan

Sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk mengasihi, menghormati, dan menghindari sikap menghakimi sesama. Menyebut seseorang "kafir" dengan nada menghina atau merendahkan bertentangan dengan ajaran kasih Yesus Kristus. Sebaliknya, kita dipanggil untuk menjadi saksi kasih Allah, dengan berbicara dan bertindak dalam kebenaran dan kasih.

Dengan mengikuti teladan Yesus, kita dapat membawa lebih banyak orang kepada pengenalan akan kasih Allah, tanpa mengandalkan label atau penghakiman yang tidak membangun.

Posting Komentar

0 Komentar