Selasa, 08 Juli 2025

PANGGILAN GEREJA TERHADAP KRISIS IKLIM: TINJAUAN TEOLOGIS DAN PRAKTIK EKOTEOLOGI

 


I. Pendahuluan

Krisis iklim menjadi isu global yang sangat mendesak di abad ke-21. Perubahan suhu bumi, mencairnya es kutub, naiknya permukaan laut, deforestasi, kebakaran hutan, dan cuaca ekstrem bukan hanya masalah ilmiah atau politik, tetapi juga menyentuh aspek spiritual dan moral. Dalam konteks ini, gereja sebagai tubuh Kristus di dunia memiliki tanggung jawab profetis dan pastoral untuk menanggapi krisis iklim dengan serius.

Krisis iklim bukan hanya ancaman ekologis, tetapi juga krisis keadilan yang berdampak langsung pada kaum miskin, generasi mendatang, dan seluruh ciptaan Tuhan. Maka, diperlukan suatu pendekatan teologis yang menyatukan iman dan tanggung jawab ekologis—yang disebut sebagai ekoteologi.


II. Landasan Teologis: Ciptaan dan Tanggung Jawab Manusia

A. Allah sebagai Pencipta Segala Sesuatu

Kitab Kejadian 1 dan 2 menyatakan dengan jelas bahwa Allah adalah Pencipta alam semesta dan segala isinya. Ciptaan itu dinyatakan sebagai “baik” (Ibr. tov), bahkan “sangat baik” (Kejadian 1:31). Ini menunjukkan bahwa ciptaan memiliki nilai intrinsik, bukan hanya nilai guna.

B. Manusia Sebagai Pengelola, Bukan Penguasa

“Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.”
(Kejadian 2:15)

Kata "mengusahakan" (abad) dan "memelihara" (shamar) berarti tanggung jawab manusia adalah sebagai stewardship (penatalayan), bukan sebagai penakluk. Manusia diberikan mandat untuk merawat bumi sebagai wakil Allah, bukan mengeksploitasi alam demi kepentingan sendiri.


III. Krisis Iklim dalam Perspektif Teologis

A. Dosa dan Ketidakseimbangan Ekologis

Krisis iklim adalah buah dari struktur dosa kolektif: keserakahan, konsumerisme, individualisme, dan ketidakadilan sosial. Alam menderita bukan karena kebetulan, tetapi akibat dari pola hidup manusia yang tidak bertanggung jawab.

“Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin.”
(Roma 8:22)

Paulus menggambarkan alam ciptaan yang “mengeluh” karena dampak kerusakan akibat dosa. Ini memperlihatkan bahwa ciptaan turut menantikan pemulihan.

B. Ekoteologi: Teologi yang Ramah Lingkungan

Ekoteologi adalah cabang teologi yang menekankan relasi antara Allah, manusia, dan alam. Ini adalah panggilan untuk mengembangkan spiritualitas yang tidak hanya berpusat pada keselamatan jiwa, tetapi juga mencakup keutuhan ciptaan.

“Karena Allah begitu mengasihi dunia ini...” (Yohanes 3:16) — Kata “dunia” (kosmos) dalam konteks Yunani mencakup seluruh tatanan ciptaan, bukan hanya manusia.


IV. Panggilan Gereja dalam Menanggapi Krisis Iklim

A. Peran Profetis

Gereja dipanggil untuk menjadi suara kenabian—menyuarakan kebenaran dan keadilan di tengah kebungkaman terhadap kerusakan lingkungan. Seperti nabi-nabi Perjanjian Lama yang mengecam ketidakadilan sosial, gereja masa kini harus menyerukan pertobatan ekologis.

B. Peran Liturgis dan Edukatif

Gereja dapat mengintegrasikan isu lingkungan ke dalam:

  • Kotbah yang menyentuh tanggung jawab ekologi.

  • Doa syafaat untuk bumi dan seluruh ciptaan.

  • Kurikulum Sekolah Minggu dan Katekisasi yang memuat prinsip tanggung jawab terhadap alam.

  • Hari Minggu Ciptaan sebagai refleksi tahunan terhadap alam.

C. Peran Praktis: Gerakan Ekologis Gereja

Beberapa tindakan nyata yang dapat dilakukan gereja:

  • Mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dalam kegiatan gereja.

  • Menanam pohon atau membuat taman gereja.

  • Menghemat listrik dan air di lingkungan pelayanan.

  • Mendorong gaya hidup sederhana dan konsumsi bijak di kalangan jemaat.


V. Contoh Praktik Ekoteologi di Dunia dan Indonesia

A. Gereja Katolik dan Laudato Si’

Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ (2015) menekankan bahwa kerusakan lingkungan adalah krisis moral dan spiritual. Ia menyerukan “ekologi integral” yang menghubungkan krisis ekologi dengan kemiskinan dan keadilan sosial.

B. Dewan Gereja Dunia (WCC)

Mengusung tema "Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC)", WCC mengajak gereja-gereja sedunia bersatu dalam tindakan nyata untuk keadilan ekologi.

C. Gereja Lokal di Indonesia

  • Beberapa gereja di Papua dan Kalimantan melibatkan diri dalam advokasi lingkungan dan hak tanah adat.

  • Gereja di kota-kota besar mulai mengembangkan program “green church” atau “gereja hijau”.


VI. Tantangan dalam Implementasi Ekoteologi

A. Ketidakpedulian dan Kurangnya Kesadaran

Banyak jemaat masih menganggap isu lingkungan bukan bagian dari “hal rohani”.

B. Kurangnya Pendidikan Ekologi dalam Teologi

Sekolah-sekolah teologi masih jarang membahas krisis iklim secara serius.

C. Struktur Gereja yang Kurang Fleksibel

Birokrasi dan kesibukan organisasi kadang menghambat perubahan nyata di lapangan.


VII. Kesimpulan dan Refleksi

Krisis iklim adalah panggilan mendesak bagi gereja untuk merefleksikan kembali relasi antara iman dan ciptaan. Melalui pendekatan ekoteologi, gereja diajak untuk membumikan spiritualitas Kristen dalam tindakan nyata yang menyelamatkan bumi. Injil bukan hanya kabar baik bagi manusia, tetapi juga bagi seluruh ciptaan.

“Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya” (Mat. 6:33) – Kerajaan Allah yang dicari itu mencakup keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.

Gereja yang peduli lingkungan adalah gereja yang hidup, karena ia mencerminkan kasih Allah yang menyeluruh terhadap dunia ini.


Referensi (Opsional Jika Diinginkan):

  1. Paus Fransiskus. Laudato Si’ – On Care for Our Common Home, 2015.

  2. Moltmann, Jürgen. God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God, 1993.

  3. Habel, Norman C. Exploring Ecological Hermeneutics, 2008.

  4. WCC. Justice, Peace, and Integrity of Creation. Geneva, 1990.

  5. Boff, Leonardo. Cry of the Earth, Cry of the Poor, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *