DI BALIK PENGSURIAN HAGAR DAN ISMAEL

 


I. Latar Belakang Kisah Hagar dan Ismael

Kisah Hagar dan Ismael adalah salah satu kisah yang mencerminkan kompleksitas hubungan manusia dengan janji Allah, ketegangan keluarga, serta penyertaan Tuhan dalam penderitaan. Kisah ini tercatat dalam Kitab Kejadian pasal 16 dan 21, di mana Hagar adalah seorang hamba perempuan Mesir milik Sara, istri Abraham. Ketika Sara tidak juga mengandung meskipun Allah telah berjanji kepada Abraham bahwa ia akan menjadi bapak sejumlah besar bangsa, Sara memberikan Hagar kepada Abraham untuk dijadikan selir agar memperoleh keturunan melalui dia.

Dalam konteks budaya kuno Timur Tengah, tindakan Sara bukanlah sesuatu yang asing. Dalam masyarakat patriarkal saat itu, memiliki keturunan sangat penting, terutama bagi seorang pria yang menerima janji ilahi tentang kelangsungan keturunan. Namun, keputusan ini ternyata membawa konsekuensi emosional dan sosial yang besar. Setelah Hagar mengandung, ia mulai memandang rendah tuannya, Sara, yang kemudian merasa tersinggung dan memperlakukan Hagar dengan kasar hingga Hagar melarikan diri ke padang gurun. Di situlah malaikat Tuhan menampakkan diri kepada Hagar dan menyampaikan bahwa anak yang akan lahir darinya harus diberi nama Ismael, yang berarti "Allah mendengar", sebab Allah telah mendengar keluh kesahnya.

Ketika Ismael lahir, Abraham berusia 86 tahun. Namun, janji Allah kepada Abraham belum selesai. Allah tetap menjanjikan seorang anak dari Sara sendiri. Dua belas tahun kemudian, Allah kembali menegaskan janji-Nya dan mengubah nama Abram menjadi Abraham serta Sarai menjadi Sara. Akhirnya, pada usia 90 tahun, Sara mengandung dan melahirkan Ishak, anak perjanjian. Kelahiran Ishak memperbesar ketegangan di dalam rumah tangga Abraham. Ismael yang saat itu telah beranjak remaja, mulai menunjukkan sikap yang membuat Sara tidak senang.

II. Peristiwa Pengusiran: Kejadian 21:8-21

A. Perayaan dan Konflik

Setelah Ishak disapih, Abraham mengadakan pesta besar sebagai bentuk syukur atas pertumbuhan anak perjanjiannya. Namun dalam suasana sukacita tersebut, Sara melihat Ismael memperolokkan Ishak. Kata Ibrani yang digunakan adalah "metsaheq," yang artinya bisa bermacam-macam: bermain-main, mengejek, atau bertingkah tidak sopan. Apapun makna tepatnya, tindakan Ismael ini membuat Sara merasa bahwa kedudukan anaknya, Ishak, sebagai ahli waris bisa terancam.

Sara pun meminta Abraham untuk mengusir Hagar dan Ismael. Tentu saja, bagi Abraham ini merupakan keputusan yang sangat menyakitkan, karena Ismael adalah darah dagingnya sendiri. Namun Allah berbicara kepada Abraham dan meminta dia untuk mengikuti perkataan Sara, sebab keturunan sejati yang dijanjikan Allah akan datang melalui Ishak. Allah pun menegaskan bahwa Dia tidak akan meninggalkan Ismael, tetapi akan membuatnya menjadi bangsa besar karena ia juga keturunan Abraham.

B. Kehidupan di Padang Gurun

Dengan berat hati, Abraham memberikan bekal air dan roti kepada Hagar lalu melepaskan dia dan Ismael ke padang gurun Bersyeba. Ketika air habis, Hagar menempatkan Ismael di bawah semak-semak dan duduk agak jauh darinya karena ia tidak tahan melihat anaknya mati kehausan. Dalam kesedihan dan keputusasaan, Hagar menangis. Namun Allah tidak tinggal diam. Malaikat Tuhan berseru dari langit dan berkata bahwa Allah telah mendengar suara anak itu. Hagar pun ditunjukkan sebuah sumur air dan mereka pun selamat.

Ismael kemudian tumbuh besar di padang gurun Paran, menjadi pemanah yang handal. Hagar mengambilkan istri bagi anaknya dari tanah Mesir.

III. Makna Teologis dan Refleksi Spiritual

1. Kedaulatan Allah atas Rencana-Nya

Kisah ini menunjukkan bahwa janji Allah bukan tergantung pada usaha manusia, melainkan pada kedaulatan dan kuasa-Nya. Abraham dan Sara berusaha membantu Allah dengan memberikan Hagar, tetapi Allah tetap menyatakan bahwa Ishak, anak dari Sara, adalah pewaris perjanjian. Dalam Roma 9:6-9, Rasul Paulus menekankan bahwa bukan semua keturunan Abraham disebut anak-anak Allah, melainkan anak-anak perjanjian.

2. Allah Peduli pada Orang Tersingkir

Walaupun Hagar dan Ismael bukan bagian dari perjanjian utama, mereka tetap mendapatkan perhatian Allah. Ini menegaskan sifat Allah yang penuh kasih dan tidak melupakan orang-orang yang terbuang. Nama Ismael sendiri menjadi simbol bahwa Allah mendengar jeritan hati yang menderita.

3. Ketegangan Antara Daging dan Roh

Rasul Paulus dalam Galatia 4:22-31 menggunakan kisah Hagar dan Sara sebagai alegori. Hagar melambangkan perjanjian lama dan perbudakan, sedangkan Sara melambangkan perjanjian baru dan kemerdekaan. Anak Hagar lahir secara jasmani, sedangkan anak Sara lahir karena janji. Ini menggambarkan konflik antara hidup menurut daging dan hidup menurut Roh.

4. Kesabaran dalam Menanti Janji Tuhan

Kisah ini juga mengajarkan bahwa janji Allah memiliki waktu-Nya sendiri. Sara dan Abraham harus belajar menunggu dengan iman. Ketidaksabaran mereka membawa luka, baik bagi diri mereka maupun bagi Hagar dan Ismael. Namun, Allah tetap bekerja bahkan dalam kegagalan manusia.

5. Harapan dalam Keputusasaan

Hagar mengalami keputusasaan di padang gurun, tetapi Allah hadir dan memberikan pengharapan. Ini adalah gambaran bahwa tidak ada situasi yang terlalu gelap bagi terang kasih Allah. Sumur air yang ditunjukkan kepada Hagar adalah simbol dari penyertaan Tuhan yang tidak pernah terlambat.

IV. Dimensi Sosial dan Budaya dalam Kisah Hagar dan Ismael

1. Status Sosial Hagar sebagai Budak

Hagar adalah seorang budak perempuan dari Mesir. Dalam konteks masyarakat patriarkal pada zaman kuno, status budak sangatlah rendah. Seorang budak tidak memiliki hak milik, apalagi kendali atas hidupnya sendiri. Ketika Sara menyerahkan Hagar kepada Abraham untuk dijadikan selir, keputusan tersebut dilakukan tanpa persetujuan Hagar, menegaskan bahwa tubuh dan hidupnya berada di bawah kekuasaan tuannya.

Kisah ini mencerminkan betapa sistem sosial saat itu sangat tidak adil terhadap perempuan dan kaum marjinal. Namun menariknya, Alkitab memberikan tempat yang penting bagi Hagar, bahkan dua kali malaikat Tuhan menampakkan diri kepadanya (Kejadian 16 dan 21), sebuah kehormatan yang langka dan menegaskan perhatian Tuhan terhadap mereka yang terpinggirkan.

2. Ketegangan Identitas dan Warisan

Ketika Ismael mengejek Ishak, bukan hanya soal ejekan biasa antar saudara tiri, tetapi ada kemungkinan konteks warisan menjadi pemicunya. Ismael adalah anak sulung Abraham, namun karena status ibunya sebagai budak, posisi Ismael menjadi tidak jelas. Dalam tradisi Timur Tengah kuno, anak sulung biasanya mendapat hak waris utama, namun hal ini menjadi kompleks ketika anak tersebut berasal dari selir atau budak.

Sara, sebagai ibu dari anak perjanjian, khawatir bahwa Ismael akan menyaingi hak waris Ishak. Hal ini menunjukkan bagaimana keturunan dan hak waris menjadi isu besar dalam budaya kuno, dan juga menjadi sumber utama konflik dalam keluarga Abraham.

3. Kemandirian dan Ketahanan Hagar

Meski mengalami penindasan, pengusiran, dan penderitaan, Hagar adalah sosok perempuan yang tangguh. Ia berhasil bertahan hidup di padang gurun bersama anaknya. Ketika air habis, ia tidak menyerah begitu saja, tetapi tetap berjuang sampai Allah memberikan pertolongan. Ia membesarkan Ismael hingga dewasa, dan mencarikannya seorang istri. Kemandirian Hagar menunjukkan ketegaran seorang ibu tunggal yang menjadi inspirasi banyak perempuan hingga kini.

V. Relevansi Kisah Hagar dan Ismael bagi Kehidupan Kristen Masa Kini

1. Pelajaran tentang Keadilan Sosial

Kisah ini mengajak umat Kristen untuk peduli terhadap mereka yang tersingkir dan tertindas. Allah menunjukkan kepedulian-Nya kepada Hagar dan Ismael, dan hal ini menjadi teladan bagi gereja untuk tidak hanya fokus pada mereka yang berada dalam "perjanjian utama", tetapi juga pada mereka yang termarjinalkan dalam masyarakat: para janda, anak yatim, imigran, korban kekerasan, dan lainnya.

2. Kepedulian Tuhan yang Melampaui Batasan Sosial

Allah tidak hanya bekerja melalui jalur utama perjanjian-Nya, tetapi juga menjangkau mereka yang tampaknya berada di luar rencana besar itu. Ini menunjukkan bahwa kasih Allah universal. Hagar dan Ismael bukan bagian dari umat pilihan secara teknis, namun Allah tetap memberkati mereka dan menjanjikan keturunan besar bagi Ismael. Dalam konteks Kekristenan, hal ini menjadi pengingat bahwa kasih Kristus melampaui tembok-tembok agama, status sosial, dan bangsa.

3. Keteladanan dalam Menghadapi Penolakan dan Pengusiran

Banyak orang Kristen di berbagai belahan dunia menghadapi penolakan karena iman, status sosial, atau latar belakang keluarga. Kisah Hagar dan Ismael menjadi cermin dan kekuatan bagi mereka untuk tetap berharap, bahwa Allah mendengar dan bertindak pada waktunya. Penolakan manusia bukan akhir dari cerita, sebab tangan Tuhan tetap bekerja di balik penderitaan.

4. Peran Perempuan dalam Rencana Allah

Hagar bukan tokoh sentral dalam rencana perjanjian Allah, tetapi ia mendapat tempat khusus karena perjumpaannya yang intim dengan Allah. Dalam dunia modern, di mana perempuan masih sering mengalami diskriminasi, kisah Hagar menunjukkan bahwa Allah memperhatikan perempuan, bahkan dari status sosial yang paling rendah sekalipun.

5. Ketekunan dalam Iman di Tengah Gurun Kehidupan

Padang gurun dalam kisah ini bukan hanya tempat fisik, tetapi juga simbol krisis dan kehampaan hidup. Banyak orang mengalami masa-masa "padang gurun" dalam kehidupan mereka: kesulitan ekonomi, sakit penyakit, putus asa, atau kesepian. Seperti Hagar yang mendapatkan pertolongan Tuhan tepat pada waktunya, demikian pula umat percaya diajak untuk tetap berpengharapan dan yakin bahwa Tuhan melihat, mendengar, dan akan bertindak.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama