SEJAK KAPAN GEREJA RASULI YERUSALEM TAK MEMAKAI LAGI BAHASA IBRANI ?


Penggunaan bahasa Ibrani dalam Gereja Rasuli Yerusalem adalah bagian penting dari sejarah awal Kekristenan. Untuk memahami kapan dan mengapa bahasa ini tidak lagi digunakan secara aktif, kita perlu menelusuri perkembangan historis, budaya, dan teologis yang terjadi pada masa itu.


Konteks Awal: Penggunaan Bahasa Ibrani di Gereja Rasuli Yerusalem

Gereja Rasuli Yerusalem, yang didirikan oleh para murid Yesus setelah peristiwa Pentakosta (Kisah Para Rasul 2), berada di tengah-tengah komunitas Yahudi. Bahasa Ibrani adalah bahasa keagamaan utama bangsa Yahudi, digunakan dalam pembacaan Kitab Suci (Torah) dan ibadah di Bait Suci. Namun, pada masa itu, bahasa Aram lebih dominan sebagai bahasa sehari-hari orang Yahudi di Palestina, termasuk Yerusalem.

Yesus sendiri, dalam kehidupan dan pengajarannya, menggunakan bahasa Aram sebagai bahasa utama, meskipun Ia dan para murid-Nya tentu juga memahami bahasa Ibrani. Oleh karena itu, liturgi awal Gereja Rasuli kemungkinan besar menggunakan campuran bahasa Ibrani dan Aram:

  • Bahasa Ibrani digunakan untuk pembacaan Kitab Suci (seperti Yesaya, Mazmur, atau Torah) selama ibadah.
  • Bahasa Aram digunakan dalam percakapan sehari-hari dan pengajaran langsung kepada komunitas.

Para rasul dan jemaat awal adalah orang Yahudi yang tetap menjalankan tradisi Yahudi, seperti pergi ke Bait Suci untuk beribadah (Kisah Para Rasul 3:1). Mereka tidak memisahkan diri dari identitas Yahudi mereka, sehingga bahasa Ibrani tetap memiliki peran penting pada tahap awal Gereja Yerusalem.


Faktor yang Menyebabkan Pergeseran dari Bahasa Ibrani

Beberapa faktor sejarah dan sosial berkontribusi pada berkurangnya penggunaan bahasa Ibrani dalam Gereja Rasuli Yerusalem:

1. Penghancuran Yerusalem (70 M)

Pada tahun 70 M, pasukan Romawi di bawah Jenderal Titus menghancurkan Yerusalem dan Bait Suci sebagai respons terhadap pemberontakan Yahudi (66–73 M). Peristiwa ini menandai awal diaspora besar-besaran orang Yahudi, termasuk pengikut Yahudi-Kristen, dari Yerusalem. Sebagian besar komunitas Kristen di Yerusalem terpaksa melarikan diri ke tempat-tempat seperti Pella di wilayah Dekapolis.

Penyebaran ini menyebabkan komunitas Kristen Yerusalem kehilangan keterkaitannya yang erat dengan tradisi Yahudi. Di wilayah-wilayah baru, terutama di dunia Helenistik, bahasa Yunani Koine menjadi bahasa utama yang digunakan dalam percakapan, liturgi, dan pengajaran.

2. Kebangkitan Komunitas Kristen Non-Yahudi

Setelah pelayanan Rasul Paulus dan para misionaris lainnya, Kekristenan berkembang pesat di luar komunitas Yahudi. Gereja-gereja mulai berdiri di kota-kota besar seperti Antiokhia, Korintus, Efesus, dan Roma. Mayoritas jemaat di gereja-gereja ini adalah orang non-Yahudi (Gentiles) yang tidak berbicara bahasa Ibrani.

Rasul Paulus sendiri sering mengutip Kitab Suci dalam bahasa Yunani Septuaginta (terjemahan Yunani dari Kitab Suci Ibrani) saat menulis surat-suratnya. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Yunani lebih relevan untuk menjangkau audiens baru yang lebih luas.

3. Deklinasi Bahasa Ibrani di Kalangan Yahudi

Pada abad pertama, bahasa Ibrani sudah tidak lagi menjadi bahasa utama dalam kehidupan sehari-hari orang Yahudi. Bahasa Aram lebih dominan sebagai bahasa percakapan, sementara bahasa Yunani digunakan secara luas untuk perdagangan dan interaksi dengan dunia Romawi. Bahasa Ibrani menjadi terbatas pada fungsi liturgis dan studi agama.

Ketika Kekristenan semakin terpisah dari akar Yahudinya, kebutuhan akan bahasa Ibrani dalam liturgi gereja menurun drastis. Bahasa Yunani, sebagai lingua franca Kekaisaran Romawi, menggantikan bahasa Ibrani bahkan di kalangan Yahudi-Kristen.

4. Konflik antara Yahudi-Kristen dan Non-Yahudi-Kristen

Pada abad kedua, muncul ketegangan antara komunitas Yahudi-Kristen (yang mempertahankan tradisi Yahudi seperti sunat dan hukum Taurat) dan Kristen non-Yahudi. Gereja Yerusalem sendiri, yang semula didominasi oleh Yahudi-Kristen, kehilangan pengaruhnya setelah dipimpin oleh pemimpin-pemimpin dari latar belakang non-Yahudi pasca perang Bar Kokhba (132–135 M).

Setelah pemberontakan Bar Kokhba, Kaisar Hadrian melarang orang Yahudi tinggal di Yerusalem. Kota itu diganti namanya menjadi Aelia Capitolina, dan komunitas Kristen di sana menjadi semakin Helenistik. Bahasa Yunani menjadi bahasa utama dalam kehidupan gereja.


Penggunaan Bahasa Yunani di Gereja Kristen

Bahasa Yunani Koine menjadi bahasa utama Kekristenan pada abad pertama hingga ketiga karena beberapa alasan:

  1. Bahasa Perjanjian Baru: Seluruh kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani Koine, termasuk Injil, surat-surat Paulus, dan Kitab Wahyu. Hal ini menunjukkan bahwa para penulis Perjanjian Baru berusaha menjangkau audiens yang lebih luas di dunia Helenistik.

  2. Liturgi dan Doktrin: Gereja-gereja di wilayah non-Yahudi, seperti Antiokhia, Efesus, dan Roma, menggunakan bahasa Yunani dalam liturgi dan pengajaran. Bahkan di Yerusalem, jemaat Kristen akhirnya mengadopsi bahasa Yunani karena pengaruh dari gereja-gereja luar.

  3. Pengaruh Filosofi Yunani: Dalam menghadapi tantangan intelektual dari budaya Romawi-Yunani, para Bapa Gereja awal (seperti Origenes dan Klemens dari Aleksandria) menggunakan bahasa Yunani untuk menulis teologi dan apologetika Kristen.


Kapan Bahasa Ibrani Berhenti Digunakan?

Bahasa Ibrani secara perlahan berhenti digunakan dalam Gereja Rasuli Yerusalem pada abad pertama akhir hingga awal abad kedua, terutama setelah:

  • Tahun 70 M: Penghancuran Yerusalem.
  • Tahun 135 M: Perang Bar Kokhba dan pelarangan orang Yahudi tinggal di Yerusalem.

Pada saat itu, komunitas Yahudi-Kristen menjadi minoritas, dan gereja di Yerusalem semakin terintegrasi dengan komunitas Kristen berbahasa Yunani. Meski demikian, bahasa Ibrani mungkin tetap digunakan oleh kelompok-kelompok kecil Yahudi-Kristen seperti kaum Ebionit hingga beberapa abad kemudian.


Kesimpulan

Peralihan dari bahasa Ibrani ke Yunani dalam Gereja Rasuli Yerusalem mencerminkan transformasi Kekristenan dari sekadar sekte Yahudi menjadi agama universal. Peristiwa-peristiwa seperti penghancuran Yerusalem, diaspora Yahudi, dan penyebaran Kekristenan di dunia Helenistik mendorong perubahan ini. Pada akhirnya, bahasa Yunani menjadi alat utama bagi Kekristenan untuk menyampaikan Injil kepada semua bangsa.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama