Pernyataan bahwa Yesus baru dilantik menjadi Tuhan pada Konsili Nikea tahun 325 M adalah salah kaprah yang sering muncul dalam berbagai diskusi tentang sejarah gereja dan ajaran Kristen. Sebenarnya, ajaran bahwa Yesus adalah Tuhan sudah ada jauh sebelum Konsili Nikea. Konsili tersebut berfokus pada menyatukan pemahaman dan klarifikasi doktrin seputar hakikat Kristus dan hubungan-Nya dengan Allah Bapa, terutama terkait dengan kontroversi yang muncul pada abad ke-4.
Konteks Sebelum Konsili Nikea
Sebelum Konsili Nikea, gereja sudah memandang Yesus sebagai Tuhan. Dalam kitab-kitab Perjanjian Baru yang sudah ditulis jauh sebelumnya (sekitar abad pertama Masehi), Yesus dipahami sebagai Tuhan dan Anak Allah. Beberapa contoh ayat yang mendukung pandangan ini antara lain:
- Yohanes 1:1-14 menyatakan bahwa "Firman itu adalah Allah" dan "Firman itu telah menjadi manusia" (merujuk kepada Yesus).
- Kolose 2:9 menyatakan bahwa "Segenap kepenuhan sifat ilahi ada pada-Nya, di dalam tubuh-Nya."
- Filipi 2:6-11 mengajarkan bahwa Yesus, meskipun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, melainkan mengambil rupa seorang hamba dan merendahkan diri-Nya, sampai mati di kayu salib.
Jadi, ajaran tentang keilahian Yesus sudah diterima dalam iman Kristen sejak abad pertama, jauh sebelum Konsili Nikea. Bahkan, para rasul dan pengikut Yesus sudah menyembah-Nya sebagai Tuhan sejak awal.
Krisis Ajaran: Arianisme
Masalah yang memicu Konsili Nikea adalah munculnya ajaran Arianisme, yang dipelopori oleh seorang imam bernama Arius. Arius mengajarkan bahwa Yesus, meskipun adalah Anak Allah, tidak sepenuhnya setara dengan Allah Bapa. Dalam pandangan Arius, Yesus adalah makhluk ciptaan yang lebih tinggi dari ciptaan lainnya, tetapi tidak sehakikat dengan Allah. Ini menyebabkan pertentangan yang cukup tajam di kalangan umat Kristen pada waktu itu.
Arianisme menjadi kontroversial karena jika Yesus bukan sepenuhnya Allah, maka keselamatan umat manusia yang dijamin melalui kematian dan kebangkitan-Nya bisa dipertanyakan. Jika Yesus bukan Allah, maka siapa yang bisa menebus dosa umat manusia yang begitu besar? Hal ini menimbulkan ketegangan besar dalam gereja yang akhirnya memerlukan penegasan kembali terhadap pengajaran gereja yang benar.
Konsili Nikea dan Pernyataan Iman
Konsili Nikea pada tahun 325 M dipanggil oleh Kaisar Konstantinus untuk menyelesaikan kontroversi ini. Para uskup yang hadir di konsili tersebut menyatakan bahwa Yesus adalah "sehakikat dengan Bapa" (homoousios), yang berarti bahwa Yesus adalah sepenuhnya Allah, tidak diciptakan dan tidak ada perbedaan esensial antara-Nya dengan Allah Bapa.
Konsili Nikea mengeluarkan Pengakuan Iman Nikea yang mengonfirmasi bahwa Yesus adalah Tuhan yang sejati dan tidak ada perbedaan dalam keilahian-Nya dengan Allah Bapa. Pengakuan iman ini berbunyi:
"Kami percaya kepada satu Tuhan, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah yang tunggal, yang dilahirkan oleh Bapa, yang Maha Kuasa, yang sehakikat dengan Bapa, melalui siapa segala sesuatu dijadikan."
Jadi, Konsili Nikea tidak “melantik” Yesus menjadi Tuhan, karena ajaran itu sudah ada sejak awal Kekristenan. Konsili Nikea hanya mengklarifikasi dan menegaskan bahwa Yesus adalah Tuhan yang sejati, sehakikat dengan Allah Bapa, melawan ajaran yang meragukan keilahian-Nya seperti Arianisme.
Dampak dan Penegasan Selanjutnya
Setelah Konsili Nikea, ajaran tentang keilahian Yesus tetap dipertahankan, meskipun masih ada perdebatan dan kontestasi selama beberapa dekade berikutnya. Arianisme masih berlanjut sebagai ajaran yang berkembang di beberapa bagian Kekaisaran Romawi, namun secara perlahan ajaran ortodoks tentang keilahian Yesus yang diajarkan oleh Konsili Nikea diterima lebih luas.
Pernyataan konsili ini tidak berarti bahwa pemahaman akan keilahian Yesus dimulai pada tahun 325 M, melainkan itu adalah upaya untuk memperjelas ajaran yang sudah ada sebelumnya dan untuk mengatasi ancaman terhadap kesatuan iman Kristen yang berfokus pada pengakuan bahwa Yesus adalah Tuhan yang sejati.
Kesimpulan
Jadi, Yesus tidak "baru dilantik menjadi Tuhan" pada Konsili Nikea. Pemahaman bahwa Yesus adalah Tuhan sudah ada sejak zaman Perjanjian Baru dan diterima oleh gereja mula-mula. Konsili Nikea tahun 325 M lebih tepat dipahami sebagai momen di mana gereja mengonsolidasikan dan mempertegas ajaran bahwa Yesus adalah sehakikat dengan Bapa, dalam menghadapi tantangan ajaran Arianisme yang berusaha merendahkan status keilahian-Nya.